
https://teramedia.id/tolak-tambang-demi-ekonomi-hijau-di-desa-wisata-namu/Inti Berita
Desa Namu di Konawe Selatan menolak rencana tambang nikel dan batu gamping, memilih menguatkan “Desa Wisata” berbasis masyarakat sebagai jalur ekonomi hijau yang melindungi air, hutan, dan pesisir.
Tesis/Argumen Pokok
Izin tambang, termasuk IUP nikel PT Panji Nugraha Sakti (PNS) dan WIUP batu gamping PT Namundo Madu Nusantara (NMN), dipandang mengancam sumber air bersih, hutan, dan kawasan wisata/riset laut. Warga dan pemimpin lokal menilai pariwisata berkelanjutan memberi manfaat ekonomi lebih merata dan tahan lama dibanding keuntungan tambang yang cepat dan berdampak luas.
Lead Pemikiran
Tulisan dibuka dengan kontras: saat Sultra ramai tambang, Namu menjadi pengecualian karena menolak. Lalu dipaparkan deret isu: status perizinan, minimnya transparansi perusahaan, risiko ruang darat–laut, penolakan warga di forum KKPRL, testimoni pelaku wisata, hingga bukti pertumbuhan ekonomi lokal dari skema Desa Wisata.
Argumen Utama
Konteks izin dan tata kelola
Ada dua izin di wilayah Namu: IUP nikel PT PNS dan WIUP batu gamping PT NMN. IUP PT PNS disebut lama tak beroperasi hingga 2023, sempat kedaluwarsa, lalu diperpanjang pada Januari 2024, kontras dengan penertiban IUP tidak aktif di tingkat pusat.
Redaksi mengaku sulit menghubungi PNS; direktur NMN tidak merespons hingga publikasi. Pemdes menyatakan tidak pernah menerima data perusahaan yang akan masuk.
Dampak ruang dan lingkungan
Dokumen WIUP NMN memperlihatkan klaim area dari pegunungan hingga pesisir; nyaris menutup separuh bentang darat–laut. Risiko yang ditekankan: rusaknya habitat hutan dan pesisir serta terancamnya satu-satunya sumber air bersih desa.
Proses regulasi aktual
NMN disebut sedang mengurus KKPRL untuk pembangunan pelabuhan. Perwakilan Namu menolak di forum Kementerian Kelautan karena data perusahaan dinilai tak sesuai lapangan dan lokasi pelabuhan menyentuh zona wisata dan riset konservasi.
Lisensi sosial: mayoritas menolak
Warga yang dikutip (Parlan; Muhammad Said, eks pekerja tambang; Muhammad Dong, Ketua Pokdarwis) menegaskan penolakan. Dalil mereka: tambang tidak menjamin manfaat merata dan berjangka panjang; kerusakan sosial–lingkungan dan kesehatan sulit dipulihkan; wisata justru memungkinkan partisipasi ekonomi lebih luas.
Alternatif nyata: Desa Wisata berjalan
Namu berstatus Desa Wisata sejak 2017, tercatat di JADESTA Kemenparekraf, dan masuk 500 besar ADWI 2023. Dampak ekonomi yang disebut: ±13 UMKM lokal, homestay dan tenaga kebersihan, perikanan pesisir tetap produktif karena terumbu karang terjaga, dan suplai air bersih 24 jam dari pegunungan.
Keberlanjutan vs keterbatasan sumber daya
Kepala desa menekankan: tambang bergerak cepat tetapi bersifat finitis; pariwisata berkelanjutan bisa berjalan tanpa batas selama lingkungan dan kearifan lokal dijaga, walau perputaran ekonominya lebih lambat.
Dimensi warisan dan identitas
Masuknya tambang dinilai menghapus cerita leluhur, ruang sakral, dan karakter “tenang–bersih” yang menjadi daya tarik Namu. Sekali rusak, lanskap ekologis–kultural sulit kembali seperti semula.
Kesimpulan Redaksional
Pesan utama: pertahankan pilihan pembangunan desa yang melindungi air, hutan, dan laut, dengan pariwisata berbasis komunitas sebagai tulang punggung ekonomi hijau; sekaligus menyoroti celah tata kelola perizinan dan konsultasi publik.
Catatan Sumber
Artikel longform Teramedia.id terbit 11 April 2025 dan diperbarui 8 Juni 2025. Memuat foto lokasi, cuplikan dokumen izin, dan kutipan warga/pemangku kepentingan setempat.



