
https://chinaglobalsouth.com/analysis/the-forest-keepers-how-nickel-smelting-threatens-indigenous-tribes-ancestral-home-in-indonesiaInti Berita
Artikel ini menyoroti bagaimana aktivitas penambangan dan pemurnian nikel di Halmahera, Maluku Utara, secara langsung mengancam keberlangsungan hidup dan budaya masyarakat adat O Hongana Manyawa. Laporan difokuskan pada perlawanan masyarakat adat terhadap ekspansi tambang nikel yang semakin mendesak wilayah adat mereka.
Argumentasi Utama dan Pokok Pikiran
Tulisan diawali dengan narasi visual tentang perlawanan dua anggota suku O Hongana Manyawa yang menghadang alat berat perusahaan tambang. Peristiwa tersebut dianggap sebagai simbol perjuangan komunitas adat untuk mempertahankan wilayah dan cara hidup mereka yang telah berlangsung turun-temurun.
Poin-Poin Pendukung
- Konteks Wilayah dan Komunitas
Halmahera dikenal sebagai pulau yang kaya akan keanekaragaman hayati dan merupakan rumah bagi suku O Hongana Manyawa. Mereka hidup secara nomaden, mengandalkan hasil hutan untuk kebutuhan sehari-hari, seperti berburu, memancing, dan meramu. Nama mereka sendiri berarti “orang yang hidup dari/di hutan”. - Ekspansi Industri Nikel
Penemuan cadangan nikel besar oleh perusahaan asing seperti Weda Bay Minerals memicu lahirnya proyek Weda Bay Nickel (WBN) yang dikelola Eramet dan Tsingshan, serta pembangunan Kawasan Industri Weda Bay (IWIP). Proyek ini mendapat izin pengelolaan lahan selama 30 tahun, yang banyak tumpang tindih dengan wilayah adat O Hongana Manyawa. - Dampak Langsung pada Komunitas
Meningkatnya aktivitas tambang menyebabkan ruang hidup, area berburu, dan sumber penghidupan masyarakat adat semakin menyempit. Testimoni dari anggota komunitas, seperti Mardon “Don” Saolat, menunjukkan bahwa kebutuhan untuk mencari nafkah di hutan kini semakin sulit akibat ekspansi tambang dan pembatasan akses. - Stigmatisasi dan Penghilangan Identitas
O Hongana Manyawa kerap mendapat label peyoratif seperti “Togutil” yang berarti primitif. Pelabelan ini memperparah marginalisasi dan pembenaran penggusuran. - Konflik dengan Regulasi Pemerintah
Kebijakan pemerintah seperti penetapan kawasan hutan lindung dan taman nasional mempersempit ruang gerak masyarakat adat dan kerap berbenturan dengan kearifan lokal mereka. Penegakan hukum juga cenderung merugikan komunitas, misalnya penahanan terhadap warga yang mencari kayu atau berkebun di wilayah yang diklaim pemerintah sebagai kawasan terlarang. - Kriminalisasi dan Pelanggaran Hak Asasi
Artikel mencatat kasus kriminalisasi anggota O Hongana Manyawa, seperti kasus Bokum dan Nuhu, yang dipidana dalam konflik dengan pekerja tambang. Stigmatisasi sebagai kelompok berbahaya digunakan sebagai pembenaran atas ekspansi pertambangan lebih lanjut. - Dimensi Etika Global dan Rantai Pasok
Laporan menyinggung laporan dampak Tesla 2023 yang menyerukan zona larangan tambang di wilayah adat. Namun, pemerintah Indonesia dinilai abai dan perusahaan tetap menjalankan operasi di lahan adat. Permasalahan persetujuan bebas, didahulukan, dan diinformasikan (FPIC) dari kelompok masyarakat yang belum pernah dijangkau menjadi dilema global rantai pasok nikel untuk kendaraan listrik.
Kesimpulan Narasi
Artikel menegaskan bahwa pembangunan industri nikel di Halmahera, yang dipromosikan sebagai bagian dari transisi energi hijau dunia, justru menimbulkan risiko kehilangan ruang hidup, identitas, dan hak asasi bagi masyarakat adat yang minim akses terhadap perlindungan hukum dan kebijakan. Tidak ada langkah nyata yang diambil oleh perusahaan maupun pemerintah untuk melindungi hak dan keberlangsungan O Hongana Manyawa.



