Memilah Fakta dan Fiksi

Misinformasi (informasi yang keliru) dan disinformasi (informasi yang sengaja menyesatkan) dapat mengaburkan pemahaman kita tentang dampak dan solusi dari eksploitasi mineral kritis. Di sini, kami mengurai sejumlah mitos seputar mineral kritis, pertambangan, dan hilirisasi di Indonesia.


Mitos 1

Kebijakan hilirisasi Indonesia (larangan ekspor bijih mentah dan pembangunan smelter baru) secara jelas meningkatkan ekonomi dan kesejahteraan lokal.

Fakta:

Nilai ekspor melonjak dari $4 miliar (2017) ke $34 miliar (2022), tetapi dampak bersihnya diperdebatkan. Studi CREA 2024 memperkirakan peleburan berbahan bakar batubara memicu 3.800 kematian dini per tahun pada 2030 dan biaya kesehatan $3 miliar per tahun.

Di lapangan, daerah nikel tetap miskin (Sulawesi Tenggara); peluang kerja lokal terbatas karena kesenjangan keterampilan dan tenaga kerja asing. Pendapatan makro naik di atas kertas, namun banyak komunitas tidak merasakan manfaat langsung.

Sumber: Studi CREA (2024) tentang dampak industri nikel; riset lokal tentang kemiskinan.

Masyarakat sekitar tambang nikel masih dihantui kemiskinan

Perangkap Nikel: Menyeimbangkan Profitabilitas, Keberlanjutan, dan Transisi Energi

Nikel dan Transisi Energi: Antara Harapan dan Realitas

Hoyu Tatilegan, 60, and her daughter, member of the O Hongana Manyawa ethnic group (commonly referred to by outsiders as the Togutil or Tobelo Dalam people), were photographed near Fetealu River, East Halmahera on August 18, 2024.
(Photo: Mas Agung Wilis Yudho Baskoro/CGSP)

Mitos 2

Nikel menyumbang Penerimaan Negara Bukan Pajak sebesar Rp4,18 triliun pada Mei 2022. Pada bulan yang sama, royalti nikel mencapai 13,19 persen dari total royalti PNBP Sumber Daya Alam.

Fakta:

Dari sisi sosial dan ekonomi, aktivitas industri nikel menimbulkan konflik dan sengketa lahan, perampasan hak ulayat masyarakat adat, serta gangguan terhadap sumber mata pencaharian masyarakat.

Pengelolaan industri nikel juga masih sarat praktik korupsi. Penyalahgunaan wewenang oleh pejabat publik masih ditemukan dalam proses pemberian Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) dan Izin Usaha Pertambangan (IUP) kepada perusahaan tambang.

Baca:

Glorifikasi Pertumbuhan Ekonomi dan Trilemma Energi dalam Industri Nikel

Debunking the Value Added Myth in Nickel Downstream Industry

Pembangkit Batubara Captive Indonesia Terus Melonjak

Air pollution from smelters in Halmahera
(Photo by: Mas Agung Wilis Yudha Baskoro)

Mitos 3

Pertambangan nikel telah meningkatkan pendapatan pedesaan dan mengurangi kemiskinan di wilayah penghasil.

Fakta:

Provinsi utama penghasil nikel seperti Sulawesi Tenggara masih memiliki tingkat kemiskinan di atas rata-rata nasional; komunitas lokal sering kali tidak merasakan manfaat ekonomi yang signifikan.

Masih ada pertanyaan besar: apakah pertumbuhan ini betul-betul mengurangi kemiskinan, pengangguran, dan ketimpangan di wilayah tambang serta menopang pembangunan berkelanjutan.

Kekhawatiran atas dampak sosial-lingkungan dan risiko korupsi dalam pertambangan dan hilirisasi juga tetap menguat.

Baca: 

Natural Resource Governance Institute
Ambisi Transisi Energi Indonesia: Hilirisasi Nikel dan Seterusnya

(Photo: Mas Agung Wilis Yudho Baskoro)

Mitos 4

Kebijakan hilirisasi nikel Indonesia telah secara jelas meningkatkan ekonomi dan kesejahteraan lokal

Fakta:

IMIP di Morowali dipandang sebagai simpul nikel global untuk baterai EV yang tumbuh sangat cepat, namun dengan ongkos sosial dan lingkungan yang berat. Jam kerja, keselamatan kerja, kecelakaan dan kematian, serta keluhan kesehatan adalah sederet masalah.

Namun ekspansi batu bara untuk energi smelter, pembuangan limbah, dan pembukaan lahan memicu polusi, merusak perikanan pesisir, serta memperparah banjir musiman. Label “hijau” rantai pasok EV berseberangan dengan realitas di lokasi hulu seperti IMIP.

Selama 15 tahun, total akumulasi upah lintas sektor mencapai $14,71 miliar (Rp 228 triliun). Namun dalam skenario business as usual, proyeksi upah jangka panjang cenderung menurun karena pendapatan pekerja di pertanian dan perikanan tertekan oleh aktivitas pengolahan nikel. Produktivitas yang turun akibat pencemaran udara ikut memangkas penghasilan mereka.

Sumber: Wired – Workers Are Dying in the EV Industry’s ‘Tainted’ City

(Photo: Mas Agung Wilis Yudha Baskoro/CGSP)

Mitos 5

Pengolahan nikel hilir akan memberikan keuntungan ekonomi bersih yang besar bagi Indonesia.

Fakta:

Riset menunjukkan bahwa biaya lingkungan dan kesehatan dengan cepat meniadakan keuntungan awal.

Studi tahun 2024 menemukan bahwa dalam beberapa tahun, kerusakan ekologis akibat smelter berbahan bakar batu bara menggerus output ekonomi, dengan proyeksi ribuan kematian dini dan beban kesehatan bernilai miliaran dolar.

Sebanyak 55.600 kematian dan kerugian sebesar $38,2 miliar (Rp592 triliun) dapat dihindari pada tahun 2060 jika semua pusat pengolahan di Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, dan Maluku Utara menerapkan standar kualitas udara yang ketat.

Sumber: Laporan CREA & CELIOS (2024)
Membantah Mitos Nilai Tambah, Menilik Ulang Industri Hilirisasi Nikel

Mining workers pass through a damaged and dusty road in the PT. IWIP factory area in Central Weda, Central Halmahera, North Maluku, Indonesia, on August 15, 2024.
(Photo: Mas Agung Wilis Yudha Baskoro)

Mitos 6

Ekspansi pengolahan nikel tidak mendorong deforestasi.

Fakta:

Data satelit dan LSM menunjukkan sebaliknya: nikel telah mendorong kehilangan hutan secara masif. Di Sulawesi dan Maluku, hutan di sekitar fasilitas pengolahan sedang dibuka dengan laju yang mengkhawatirkan, hampir dua kali lebih cepat dibandingkan wilayah lain.

Satu analisis menemukan bahwa ledakan industri nikel telah menghapus lebih dari 75.000 hektare hutan, dengan ratusan ribu hektare lainnya terancam.

Permintaan nikel melonjak tajam karena digunakan dalam baterai kendaraan listrik dan baterai skala besar untuk proyek energi bersih.

Lonjakan ini sudah menyebabkan hilangnya lebih dari 75 ribu hektare hutan. Lebih dari setengah juta hektare hutan Indonesia berada dalam wilayah konsesi nikel dan terancam pembukaan hutan.

Sumber: IUCN

Nickel rush in Indonesia: deforestation rates double around nickel-processing plants

An aerial view of deforestation due to nickel mining industry in Central Halmahera, Indonesia on August August 15, 2024.
(Photo: Mas Agung Wilis Yudha Baskoro)

Mitos 7

Operasi penambangan nikel di Indonesia mengutamakan keselamatan pekerja.

Fakta:

Pada 22 Maret, longsor di kawasan Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) menimbun empat pekerja di bawah limbah nikel dan kembali menyorot tata kelola tailing yang rawan.

Aktivis menyebut biang keladinya kegagalan bendungan tailing, argumennya menautkan banjir terbaru dan citra satelit yang menunjukkan indikasi kerusakan struktur, sementara pihak IMIP menyalahkan hujan lebat.

Peristiwa ini menegaskan risiko keselamatan dan lingkungan yang terus berulang di teknologi HPAL, yang menghasilkan limbah beracun dalam jumlah besar di wilayah rawan bencana seperti Sulawesi.

Sejak 2015, sedikitnya 40 pekerja dilaporkan meninggal di IMIP.

Sumber: Mongabay – Landslide deaths again highlight safety failures in Indonesia’s nickel industry

ISPA di Morowali tembus 339.305 kasus (2024); industri nikel memicu polusi dan maraknya spa serta prostitusi online di sekitar smelter.
(Photo: Tempo/Antara/Mohamad Hamzah)

Mitos 8

Penambangan nikel tidak berdampak buruk pada kesehatan masyarakat lokal

Fakta:

Orang Kabaena, termasuk komunitas Bajau yang secara turun-temurun hidup dekat laut dan menggantungkan hidup pada laut, menurut perkiraan para ahli, termasuk di antara ribuan komunitas di Indonesia yang cara hidup tradisionalnya terpukul oleh ekspansi cepat industri tambang.

Di Kabaena, lebih dari 3.700 hektare hutan, termasuk kawasan lindung, dibuka oleh perusahaan tambang pada 2001 sampai 2023 menurut analisis data Mighty Earth, organisasi lingkungan internasional. Penggundulan itu merusak lingkungan dan mata pencaharian warga Kabaen.

Sebagian besar bahan yang ditambang di Indonesia masuk ke rantai pasok internasional untuk baja tahan karat, baterai kendaraan listrik, dan produk terkait lainnya.

Sumber:

AP News – Global demand spurring Indonesia’s mining boom comes at a cost for many communities.

Investigasi Tempo–China Global South Project mengungkap dampak hilirisasi nikel: polusi, kehilangan nafkah, kerusakan lingkungan di Bantaeng, Morowali, Kolaka.
(Photo: Mas Agung Wilis Yudha Baskoro)

Mitos 9

Proyek nikel menghormati hak atas tanah dan memberi kompensasi layak kepada komunitas lokal.

Fakta:

Penyelidikan menemukan hal yang sebaliknya. Laporan Climate Rights International tentang proyek Weda Bay (Halmahera) menemukan bahwa komunitas adat Sawai tidak diajak berkonsultasi secara layak dan mengalami perampasan tanah secara paksa. Warga mengatakan mereka disesatkan atau diintimidasi untuk menjual tanah mereka; proses FPIC diabaikan.

Pembebasan lahan hanya salah satu persoalan yang dilaporkan warga dalam laporan CRI. Mereka juga mengeluhkan pembabatan hutan di kawasan buru tradisional, pencemaran sungai yang menjadi sumber air, serta pembuangan air panas langsung ke laut yang mematikan ikan yang mereka konsumsi.

Sumber: Mongabay/CRI (Februari 2024)

Indonesian nickel project harms environment and human rights, report says

A woman, member of Tobelo Luar indigenous community, stands outside her wooden home in Dodaga Village, East Halmahera, Indonesia on August 17, 2024.
(Photo: Mas Agung Wilis Yudha Baskoro)

Mitos 10

Proyek nikel memperoleh persetujuan atas dasar informasi awal tanpa paksaan (FPIC) dan memberi kompensasi yang adil kepada warga lokal.

Fakta :

Laporan kelompok advokasi menyebut komunitas pemburu-peramu Hongana Manyawa di Halmahera terancam serius akibat penambangan nikel di wilayah adat mereka untuk rantai pasok kendaraan listrik.

Survival International memperkirakan 3.500 Hongana Manyawa, dengan kira-kira 500 orang memilih tetap tidak berhubungan dengan dunia luar, dan operasi tambang kini berlangsung di sekitar 40% kawasan yang mereka anggap dihuni kelompok isolasi sukarela. 

Sumber:

The China-Global South ProjectPhoto Essay: How Nickel Smelting Threatens Indigenous Tribe’s Ancestral Home in Indonesia

The Guardian Uncontacted hunter-gatherers facing threat of genocide because of mineral mining, claims report

Bawehe Bidos, 68, a member of the O Hongana Manyawa ethnic group (commonly referred to by outsiders as the Togutil or Tobelo Dalam people) was photographed outside his home near Fetealu River, East Halmahera on August 18, 2024.
(Photo: Mas Agung Wilis Yudho Baskoro)

Myth 1

Climate change shouldn’t be a priority for Africa

African nations are among the most vulnerable to the impacts of climate change. Although the continent contributes relatively little to the global greenhouse gas emissions causing climate change, it is the continent that is most affected.

Africa’s climate has warmed more than the global average resulting in unpredictable rainfall patterns and more extreme weather events. Sea-level rise around African coastlines has been faster too, triggering more frequent and severe floods, erosion, and salinity in low-lying cities.

Africa’s economic and social development challenges are sometimes given as a reason why climate change should not be a priority. However, climate change poses a serious threat to human health and safety, food, water and energy security, political stability and economies. So climate change will amplify the continent’s development challenges. Add that to the continent’s projected population growth – 2.5 billion by 2050 – and the real question is how can Africa NOT prioritise climate change.

Myth 2

Climate change is just a natural cycle

Natural climate variability is a reality, but the scientific evidence overwhelmingly shows that human activities are accelerating climate change.

Science tells us that the current rate of warming is unprecedented in recent history. Human actions, such as burning fossil fuels and deforestation, are releasing greenhouse gases into the atmosphere, trapping heat and causing global temperatures to rise at an alarming rate.

The evidence of this comes from multiple sources, including ice core samples, tree rings and temperature records. These consistently demonstrate that human-induced factors are driving the current climate trends. Climate scientists around the world have corroborated these findings with extensive research.

Natural factors like volcanic eruptions and solar radiation changes can influence climate, but their impact is relatively minor compared to human-induced factors. Natural cycles cannot explain the rapid pace of the climate change observed in recent decades.

We are responsible for the climate change we are experiencing. And we are responsible for doing something about it.

Myth 3

Africa isn't contributing to climate change

African nations combined currently contribute less than 4% of global greenhouse gas emissions (GHG). A small handful of African countries – South Africa, Egypt, Algeria, Nigeria Libya and Morocco – are responsible for most of this contribution.  

While Africa’s current contribution to climate change is small and its historical contribution is negligible, the continent still has a critical role in the global carbon footprint. This role should not be overlooked, especially looking to the future.

As African nations undergo rapid urbanization and industrial development, the demand for energy has led to a rise in emissions. Deforestation, land-use changes, and agricultural practices in Africa also have a big impact on carbon dioxide levels. Vast amounts of stored carbon are released and more is generated, while the land’s ability to absorb carbon is reduced.

The continent’s growing population and need for development will drive a much higher contribution to climate change if that development is not sustainable.

Myth 4

Climate change only affects rural areas

Climate change affects all regions, including urban centers. While rural communities are often more vulnerable to climate-related risks like extreme weather events and agricultural disruptions, urban areas are vulnerable to air pollution, heatwaves, and the pressure that climate change can place on infrastructure.

Rising sea levels threaten coastal cities and urban areas can become ‘heat islands’ that exacerbate heat-related illnesses. Urban areas are also more likely to attract more people as climate change makes it harder to exist in rural areas. Climate change knows no boundaries. Rural and urban communities need to build resilience in the face of climate change.

Myth 5

Africa needs to exploit fossil fuels for development

The argument that African nations need to exploit fossil fuels such as coal, oil, and gas to meet their development needs overlooks the continent’s exceptional renewable energy potential and the evolving global energy landscape. Investing in clean energy comes with many advantages, including energy security, job creation, and sustainable economic growth, without the environmental degradation and health hazards associated with fossil fuels.

Reliance on fossil fuels also perpetuates the continent’s vulnerability to volatile global markets. Access to energy is essential for development, but African countries have an opportunity to leapfrog to cleaner and more sustainable energy sources, such as solar, wind, or even green hydrogen, which would be better for energy security, job creation, and public health while reducing greenhouse gas emissions.

Myth-busting